Pulang

By katatian - September 11, 2012


Kusesap kopi hitam yang aromanya masih sangat kuat. Buihnya berhamburan, sengaja kubiarkan apa adanya. Panas yang mencubit berkoalisi dengan pekat merumuskan satu kepuasaan tersendiri di lidah. Dilanjutkan oleh nikotin yang menghantam paru-paru melalui pangkreas. Nikmat, dalam kesendirian itu khidmat. Dan harganya tidak mahal.
Kualihkan pandangan menyapu setiap inchi terminal yang sarat akan pertemuan dan perpisahan ini. Ada yang duduk sendirian hanya berteman kardus amburadul yang diikat serampangan. Ada pula belia yang berdua, tampak seragam dengan gaya yang berkiblat pada turis luar negri lengkap dengan kacamata hitam dan tas ransel di pundak. Simulasi bulan madu, eh kalian? Sudah pamit orang tua?
Satu dua pasang muda-mudi lainnya hilir mudik di hadapanku sambil bergandengan tangan. Erat, seolah tak ingin pisah meski semilimeter pun. Kuakui cupid sukses berat hari ini, meski hanya sebentar. Toh genggaman itu tak lama lagi akan berganti lambaian perpisahan entah untuk berapa kurun waktu. Yang tersisa hanyalah haru, lantas menjadi sepi. Rasa kehilangan pun didaur ulang menjadi pertemuan dengan yang 'baru'. Kemudian masing-masing dari mereka akan saling melupakan, menyerah pada jarak, mengingkari indahnya sajak sehidup semati.
Karena akhir cerita yang bahagia itu tidak pernah ada.
Aku terkekeh, teringat Mbok dan dongeng sebelum tidurnya yang selalu berakhir bahagia. Iming-iming 'hidup bahagia selamanya' ala Mbok membuai aku hingga usia sekian dan sejenak lupa akan beringasnya semesta. Belakangan kusadari ia pembohong besar, sutradara amatiran, tukang tipu paling ulung yang meski hatinya aku sakiti berjuta kali, maafnya tetap tak habis amunisi.
Semua berawal dari satu kedipan petang. Usiaku masih ingusan ketika Mbokku sedang naik daunnya, membuncah hormonnya dan ditinggal suaminya. Tubuhku masih kurus kerempeng, sementara Mbokku semok padat mengundang hasrat. Tontonan favoritku masih Warkop DKI, sedangkan Mbok sudah khatam berkeping-keping VCD bersampul adegan dewasa. Dan aku berontak, mengutuk semesta yang tak menyisakan porsi bahagia untukku. Aku melaknat kehidupan yang kejamnya terus saja merajamku. Aku nggilo melihat Mbok keluar masuk kamar dengan bermacam model lelaki. Kutangnya dicopot oleh berpasang tangan kotor, untuk membayar hutang. Aku malu dipanggil 'anak pelacur' oleh bocah sekampung, meski saat itu belum paham apa arti olokan tersebut tapi dari seringai menyebalkan mereka, aku bisa menyimpulkan bahwa itu bermakna buruk.
Puncaknya, kuhantam botol kaca bekas sirup lebaran tahun lalu ke kepala seorang pria brengsek yang sedang menunduk, mencoba menjamah paha Mbok di balik daster ketika Mbok sedang menyiapkan bekal makan untukku. Brengsek! Seandainya keris Mpu Gandring dalam genggaman, tak ragu lagi akan kutancapkan tepat di mana jantung pria itu berada. Mbok histeris, si pria berteriak murka, berdarah. Aku gemetar, takut tapi tak menangis. Pecahan kaca berhamburan, sumpah serapah Mbok berceceran. Kupunguti satu-satu semampuku, meski yang terekam dalam ingatan hanya kata 'pergi', 'tidak berotak', 'jahannam' dan 'jangan kembali'. Sejak saat itu kubenci Mbok hingga ke pembuluh arteri dan berjanji tidak akan menemuinya lagi. Peduli setan!
Beribu-ribu hari setelah itu, nasib berkata lain. Bocah keras kepala yang hanya bisa membaca dan berhitung, bekerja sebagai loper koran, tukang cuci piring sebuah Depot makanan pinggir jalan, penjaga rental PlayStation, tukang photo copy, sekarang menjadi penulis buku travelling kelas wahid. Kata 'pulang' dan 'rumah' telah lenyap dari kamusku. Hingga satu ketika takdir menarikku paksa kembali menyusuri kota Malang untuk mengulas sebuah tempat wisata bernama 'Permandian Air Panas Cangar'. Aku menyelinap kembali ke rahim Mbok. Mencari ruang ternyaman yang seringkali kuingkari. Menemukan sosok tuanya yang dipecundangi oleh usia terbaring renta, mengeja usia.
"Mbok, aku pulang. Mbok..."
Tetapi nihil.
Brengsek.
Mbok selalu membuatku sakit hati, menghantamku tanpa permisi. Ia telah lebih dulu pergi. Untuk yang kedua kalinya, tidak mengijinkan aku untuk pulang menemuinya bahkan untuk sebentar.
"Mas, ayo busnya sudah mau berangkat," suara khas Kayatra Puspa Asih merangkulku lembut, membuatku terjaga dari lamunan tentang Mbok. Kutandaskan kopiku hingga habis. Sekitarku mulai menyepi, aku bangkit sambil menggandeng Kay. Kembali pergi bersama ia yang tidak akan aku tinggalkan sendirian lagi, yang akan selalu ingin kujumpai kemanapun pulang: istriku.

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar