Rain After Me
Seharusnya dulu aku mengenalnya lebih awal…
Dia adalah wanita numero uno. Tatapannya teduh, dengan kornea cokelat cemerlang penuh binar. Rambut hitam legamnyanya tergerai indah alami menandingi iklan shampoo manapun. Senyumnya penuh pesona dihiasi lesung pipi kiri, kerap menggoda iman kaum pria. Dia, wanita paling ekspresif. Bergerak menentang arus, tidak terseret hiruk-pikuk kaum urban. Dia tetap setia dengan vespa dan helm bogonya sementara aku sudah sekian kali gonta-ganti velg dan interior mobil. Dia selalu asik dengan tumpukan buku tebal, sementara aku hilir mudik dari satu bar ke pub yang lain. Aku sibuk menjadi mayor di foursquare, sedangkan ia sibuk memperkaya isi blognya dengan tulisan menyegarkan. Aku selalu baca, tanpa meninggalkan komen. Bukan malu, hanya saja dia tak pernah tahu.
Aku seharusnya menikahi dia 40 tahun yang lalu..Kemudian terbangun setiap pagi di sampingnya. Menyantap sarapan yang ia hidangkan, sambil bercengkrama dengan anak-anak kami yang lucu dan sehat. Kemudian aku berangkat bekerja, sekaligus mengantar para jagoan ke sekolah. Sementara dia, wanitaku, tersenyum melambai dari balik pagar, menanti kami segera pulang lagi.
Aku seharusnya menikahi dia 40 tahun yang lalu..Kemudian terbangun setiap pagi di sampingnya. Menyantap sarapan yang ia hidangkan, sambil bercengkrama dengan anak-anak kami yang lucu dan sehat. Kemudian aku berangkat bekerja, sekaligus mengantar para jagoan ke sekolah. Sementara dia, wanitaku, tersenyum melambai dari balik pagar, menanti kami segera pulang lagi.
Malang, 2012. Hujan...
Aku berulang kali mengecek smartphone yang sedang digandrungi manusia sejagad urban. Nihil. Tak ada balasan pesan instan maupun telfon dari Remy. Padahal, seharusnya dia dan Pajero Sport putihku sudah ada di depan mata. Sekarang. Janjinya sih cuma ke Malang Town Square sebentar, menjemput adiknya. Karena mobilnya di bengkel dan dia adalah sahabat tergokilku, maka dengan enteng berpindahlah kunci mobil Pajeroku ke tangannya. Tapi ini sudah 3 jam, dan hujan. Jarak dari Malang Town Square ke kampus tak sampai 10 menit. Ke mana si kunyuk itu?
Brrrm...
Suara mesin kendaraan terdengar mendekat, bisingnya mengundang untuk ditoleh. Asalnya dari sebuah vespa nyentrik berwarna peach yang mendadak berhenti di depanku. Pemiliknya, seorang gadis mungil berkaos, bercelana jeans dan bersepatu kets. Kumal. Meski wajahnya tersembunyi dibalik helm retro berkaca bogo, tapi aku berani bertaruh gadis ini pastinya tidak menarik—at least dia tidak termasuk tipikal gadis yang akan aku ajak bersenang-senang menghabiskan malam di bawah kelap-kelip lampu disko halogen. Dari sederet wanita yang pernah beruntung mendapatkan kesempatan bergoyang di lantai dansa denganku, semuanya memiliki satu persamaan : mereka tidak berkacamata—kalaupun minus—mereka memilih untuk menggunakan softlens warna-warni yang seringkali membuat jengah ketika beradu pandang. Satu hal lagi, para wanita itu bersiluet ramping, rambut mereka tergerai panjang dengan volume bergelombang dilengkapi highlight sana-sini.
“Yaaaah, hujan..” gadis berhelm retro itu berujar lirih, membuyarkan lamunanku. Saat aku menoleh, rupanya ia telah menaikkan kaca bogonya, sehingga wajahnya—yang ternyata menarik—terlihat sangat jelas. Matanya bagus, wajahnya klasik tanpa pulasan make up ala banci stasiun. “Eh kau kehujanan juga ya? Sedang menunggu angkot?” dengan lancar ia bertanya. Tadinya aku ragu kepada siapa, tapi karena di tempat itu hanya ada aku dan dia yang sedang berteduh, maka aku yakin ia bertanya padaku. Sebenarnya ini pertanyaan bodoh karena yah tentu saja aku kehujanan tapi tidak sedang menunggu angkot. Bagaimana mungkin gayaku yang sudah sestylish ini dikaitkan dengan angkot? Analogi darimana itu? Oh yeah. Setan Remy pelakunya.
"Iya," jawabku singkat, berusaha tidak mengamati. Aku pun memperhatikan tetes hujan yang membasahi ruas jalan raya, percikan airnya terasa sampai ke ujung jempol kakiku.
"Aku suka aroma hujan..." gadis unik ini berceloteh lagi, suaranya lirih namun renyah ditelinga. Dengan bakat seperti itu harusnya ia bersanding dengan Desta 80' di HardRock FM atau minimal menjadi salah satu wadyabala Prambors. "Aroma hujan berasal dari bakteri Actinomycetes. Ketika tanah mengering, bakteri menghasilkan spora. Air yang menetes ke tanah membuat spora itu terangkat ke udara dan terhirup oleh manusia"
Lalu, kenapa? Memangnya aku peduli? Bakteri dari genus mana lagi itu? Aku merutuk dalam hati. Kepalaku menoleh dan mendapati gadis itu sedang khidmat memejamkan mata sambil merentangkan tangan. "Aku ingin memeluk hujan. Selalu ada kenangan indah di setiap tetesnya, bukan?" untuk yang kesekian kalinya gadis ini bermonolog, tak peduli aku memberi respon atau tidak. Dia asik dengan dunianya sendiri. Aku pun tak berminat menimpali.
Brrrm...
Suara mesin kendaraan terdengar mendekat, bisingnya mengundang untuk ditoleh. Asalnya dari sebuah vespa nyentrik berwarna peach yang mendadak berhenti di depanku. Pemiliknya, seorang gadis mungil berkaos, bercelana jeans dan bersepatu kets. Kumal. Meski wajahnya tersembunyi dibalik helm retro berkaca bogo, tapi aku berani bertaruh gadis ini pastinya tidak menarik—at least dia tidak termasuk tipikal gadis yang akan aku ajak bersenang-senang menghabiskan malam di bawah kelap-kelip lampu disko halogen. Dari sederet wanita yang pernah beruntung mendapatkan kesempatan bergoyang di lantai dansa denganku, semuanya memiliki satu persamaan : mereka tidak berkacamata—kalaupun minus—mereka memilih untuk menggunakan softlens warna-warni yang seringkali membuat jengah ketika beradu pandang. Satu hal lagi, para wanita itu bersiluet ramping, rambut mereka tergerai panjang dengan volume bergelombang dilengkapi highlight sana-sini.
“Yaaaah, hujan..” gadis berhelm retro itu berujar lirih, membuyarkan lamunanku. Saat aku menoleh, rupanya ia telah menaikkan kaca bogonya, sehingga wajahnya—yang ternyata menarik—terlihat sangat jelas. Matanya bagus, wajahnya klasik tanpa pulasan make up ala banci stasiun. “Eh kau kehujanan juga ya? Sedang menunggu angkot?” dengan lancar ia bertanya. Tadinya aku ragu kepada siapa, tapi karena di tempat itu hanya ada aku dan dia yang sedang berteduh, maka aku yakin ia bertanya padaku. Sebenarnya ini pertanyaan bodoh karena yah tentu saja aku kehujanan tapi tidak sedang menunggu angkot. Bagaimana mungkin gayaku yang sudah sestylish ini dikaitkan dengan angkot? Analogi darimana itu? Oh yeah. Setan Remy pelakunya.
"Iya," jawabku singkat, berusaha tidak mengamati. Aku pun memperhatikan tetes hujan yang membasahi ruas jalan raya, percikan airnya terasa sampai ke ujung jempol kakiku.
"Aku suka aroma hujan..." gadis unik ini berceloteh lagi, suaranya lirih namun renyah ditelinga. Dengan bakat seperti itu harusnya ia bersanding dengan Desta 80' di HardRock FM atau minimal menjadi salah satu wadyabala Prambors. "Aroma hujan berasal dari bakteri Actinomycetes. Ketika tanah mengering, bakteri menghasilkan spora. Air yang menetes ke tanah membuat spora itu terangkat ke udara dan terhirup oleh manusia"
Lalu, kenapa? Memangnya aku peduli? Bakteri dari genus mana lagi itu? Aku merutuk dalam hati. Kepalaku menoleh dan mendapati gadis itu sedang khidmat memejamkan mata sambil merentangkan tangan. "Aku ingin memeluk hujan. Selalu ada kenangan indah di setiap tetesnya, bukan?" untuk yang kesekian kalinya gadis ini bermonolog, tak peduli aku memberi respon atau tidak. Dia asik dengan dunianya sendiri. Aku pun tak berminat menimpali.
Memeluk hujan? Memangnya bisa?
"Kadang saat sendirian dan kehujanan, hanya dengan mbayangin seseorang yang kamu sayang itu bisa ngilangin adem loh," sambil berujar santai, gadis itu balik menatapku yang sejak tadi tanpa sadar belum mengalihkan tatapan dari sosoknya. Kami beradu pandang sekian detik dalam hening. Bungkam. Hanya tetes hujan dan riuhnya jalan raya yang berdesir di sekeliling. "Namaku Reina, kamu?" tiba-tiba ia menjulurkan tangan, sedikit mendongak karena memang aku menjulang lebih tinggi darinya. Pucuk kepalanya hanya mencapai pundakku. Reina? Rain? Terdengar familiar seoerti salah satu artis Asia yang pernah digilai banyak wanita.
"Dimi,” aku membalasnya singkat, entah kenapa enggan berlama-lama menggenggam jemarinya. Cemen, kalo kata si tengik Remy.
“Lengkapnya Dimio Dammarjati, lahir 18 Agustus, Fakultas Ekonomi semester akhir—correct me if I’m wrong,” sambil mengucapkan bio singkatku ia tersenyum. Sialan, manis sekali.
“Tau darimana?” meski risih, kuakui aku bangga juga gadis ini memberi perhatian lebih padaku. Padahal biasanya wanita yang melekat erat bagai lem alteco adalah tipikal wanita cantik tapi bodoh. Tapi Reina berbeda. Ia hanya menjawab pertanyaanku dengan senyum yang terkulum, kali ini agak tengil, penuh rahasia.
“Ada deh! Eh hujannya sudah berhenti. Aku duluan ya, laper! Lain kali kalo ketemu lagi, aku mau ngobrol banyak sama kamu. Bye!”
Sudah, sesingkat itu dan ia berlalu. Benar-benar berlalu sebab sedetik kemudian, sebuah city car berkecepatan tinggi menyalip vespa antiknya dan dari arah berlawanan sebuah truk melintas dengan kecepatan tinggi, menabraknya. Reina pergi tanpa meninggalkan jejak apapun, merampok hatiku tanpa permisi. Aku tertegun lama setelah itu, kaku dan membisu, bahkan hilang kosakata untuk mencaci Remy yang muncul terlambat menepati janji.
Malang, 2050...
Aku kembali berdiri di tempat pertama bertemu. Berharap Reina mampir meski hanya dalam ingatan dan sekelebat bayang. Aku hanya bisa mengenangnya dalam jurnal duna maya miliknya yang semuanya tentang aku. Rupanya sudah sejak lama ia menitipkan hatinya padaku, untuk dijaga. Dan akan aku simpan, meski raganya tlah tiada.
Inspired by a song from Wait for Holiday - Rain After me
featured on #project2012 Nulis Buku Club Malang
featured on #project2012 Nulis Buku Club Malang
0 komentar