Launching Buku Digital Parenthink oleh Mona Ratuliu

By katatian - Agustus 23, 2018


Hai, Moms!

Salah satu hobi saya yang berlanjut sejak masih SD adalah membaca. Saya ingat, waktu itu buku yang paling sering saya baca adalah "Lima Sekawan" karya Enid Blyton yang bercerita tentang sekelompok detektif cilik. Mereka adalah Julian, Dick, Anne, George serta anjing bernama Timmy yang sering terlibat dalam kasus-kasus menarik. Selain itu, saya juga suka sekali membaca komik "Detective Conan" dan tergila-gila pada tokoh Conan Edogawa yang berkacamata. Saya juga suka membaca kisah-kisah "Lupus" karya Hilman Hariwijaya yang membuat saya dulu pengen banget menginjakkan kaki ke Jakarta . Rasanya ingin sekali berkunjung ke tempat-tempat yang disebutkan dalam novel tersebut seperti Matraman, Blok-M, Senayan dan masih banyak lagi.

Setiap hari, ada saja buku yang saya baca di luar buku pelajaran. Apalagi saya tipikal anak rumahan yang lebih senang menghabiskan waktu di dalam rumah daripada bermain di lapangan atau bersepeda dengan kawan. Bahkan ketika tiba saat berlibur, saya membawa serta beberapa buku untuk menemani perjalanan dan mengisi waktu luang, Yes, se-bookworm itu!

Memasuki fase kehidupan mamah-mamah muda, saya masih tetap suka membaca. Hanya saja, sekarang membacanya bukan lagi dalam bentuk buku fisik melainkan buku elektronik yang bisa langsung diakses lewat ponsel pintar. Buku elektronik terkecakhir yang saya baca? DILAN! Kisah percintaan remaja yang sempat happening dan diangkat dalam bentuk film itu, selesai saya baca hanya dalam waktu 1x24 jam. Tentunya ketika si kecil sudah tertidur pulas, barulah mamak ini ngebut membaca. Lantas, buku cetak apakah yang terakhir saya baca? Digital Parenthink yang ditulis oleh Mona Ratuliu.

Iya, Mona Ratuliu yang itu loh, gadis SMA bernama Poppy dalam sinetron Lupus Millenia. Ada yang ingat? Saya jujur saja hapal banget dan nge-fans dari dulu. Sebagai salah satu pembaca bukunya, tentu sosok Poppy melekat jelas dalam ingatan ketika diangkat dalam bentuk visual. Tapi perihal Mona menulis buku parenting, sebentar deh kayaknya saya kudet alias kurang update banget yaa? Baru tau euy~

Thanks to Mom Blogger Community dan Noura Publishing atas undangannya sehingga saya berkesempatan untuk hadir dalam launching buku ke-2 Mona Ratuliu ini. Acara yang berlangsung pada hari Kamis 16 Agustus 2018 lalu, berlokasi di Lippo Mall Kemang. Kebetulan saya datang dua jam sebelum acara dimulai, karena memang sedang jalan-jalan bersama Mama dan si kecil. Ternyata, Mona juga sudah hadir dan terlihat ikut turun tangan mempersiapkan acara launching bukunya sambil menyapa para fans yang sudah antri minta tanda tangan. 




LAUNCHING BUKU DIGITAL PARENTHINK

Sekitar pukul dua siang, acara dibuka oleh Novita Anggie sebagai MC untuk sesi konferensi pers dan rekan blogger. Secara luwes, Mona menceritakan awal mulai ia terjun ke dalam dunia tulis-menulis. Ternyata dulunya ia sering hadir dalam event-event parenting dan menuliskan materinya dalam bentuk tweet. Tapi berhubung jumlah karakter dalam Twitter terbatas, Mona pun beralih pada blog pribadinya. Hampir 100 artikel yang telah ia publish. Kemudian terlintas ide untuk membukukan hasil buah pikirannya agar bisa dibaca oleh siapapun, tidak terbatas untuk para ortu yang punya perangkat digital dan koneksi internet saja. Maka, terbitlah buku pertama Mona Ratuliu yang berjudul "Parenthink".




Menjadi seorang penulis buku parenting, ternyata tidak membuat Mona lantas sempurna dan jadi serba tahu tentang bagaimana cara mengasuh anak. Apalagi di era tekhnologi yang sangat maju ini, kegelisahan para orang tua pun semakin menjadi. 

“Saya termasuk yang agak kewalahan mengejar perkembangan teknologi. Sebagai manusia yang pernah hidup di era sahabat pena, koleksi prangko, koleksi kaset, telepon umum, wartel, mesin ketik, dan hal ‘vintage’ lainnya, sungguh kadang saya merasa bingung dengan zaman ini,” aku figure publik kelahiran 1982 ini.

Mona bimbang antara memperbolehkan anak-anaknya bersentuhan dengan gadget atau tidak sama sekali. Meski pada akhirnya anak-anaknya tak bisa menghindar dari perangkat teknologi mutakhir tersebut.  Anak pertamanya, Mima, berkenalan dengan gadget sejak kelas 4 SD dan Raka sejak usia lima tahun. Sejak saat itu anak-anaknya mengalami perubahan. Mima jadi tidak suka melakukan kegiatan apapun selain mengutak-atik ponsel pintarnya. Begitu juga dengan Raka yang semakin hari kian akrab dengan tablet pintarnya, membuatnya enggan beraktivitas ke luar ruangan. 

Hingga suatu hari Mona memutuskan menyita gadget dari Mima. Bukan hal mudah tentunya, baik bagi Mona maupun putri sulungnya. Di saat teman-teman seusianya sedang asyik bermain gadget, menyitanya tentu ada konsekuensi tersendiri. Inilah yang kemudian membuat Mona untuk menulis kisahnya sebagai orangtua menghadapi kids zaman now dan menerbitkannya dalam buku "Digital ParenThink".



RESENSI BUKU DIGITAL PARENTHINK

Buku bersampul eye catching dihiasi foto cantik Mona Ratuliu ini diterbitkan oleh Penerbit Noura. Huruf timbul pada bagian judul dan nama penulis, memberi kesan istimewa bagi penikmat buku bentuk fisik. Berat bukunya sekitar 250 gram dan cukup praktis untuk dibawa kemana-mtana karena ukurannya hanya 15x20cm. 




Tidak butuh waktu lama bagi Mona untuk menulis buku Digital ParenThink. Buku setebal 216 halaman ini dirampungkannya hanya dalam waktu empat bulan. Kemudian dilanjutkan dengan proses editing dan lay out selama dua bulan. Saya dulu menulis antologi saja butuh waktu lebih dari enam bulan hahaha. 



Buku ini dibagi ke dalam tujuh bab, didukung dengan ilustrasi sederhana namun apik dan terasa pas memanjakan mata. Pada bab pertama, para pembaca diajak untuk memahami perbedaan generasi dulu dan sekarang. Mona menyebutkan tiga generasi dan karakteristiknya yaitu: Baby Boomers (kelahiran 1946 - 1964), Generasi X (kelahiran 1965 - 1980) dan Generasi Y atau Millenial (kelahiran 1981 - 1995). Lalu ada juga generasi anak-anak kita yang lahir setelah tahun 95 dan disebut Generasi NET. 




Tidak bisa dipungkiri bahwa ada perbedaan yang sangat signifikan antara generasi dulu dan generasi zaman now. Pengaruh teknologi adalah salah satu penyebab timbulnya perbedaan tersebut, dan kita sebagai orang tua harus belajar mengenal karakteristik anak agar paham seperti apa pola asuh yang tepat untuk diterapkan pada sang anak. Karakteristik dari Generasi NET adalah:

  • Cinta kebebasan
  • Memiliki keinginan besar untuk mendapatkan pengakuan 
  • Berambisi besar
  • Optimis dalam menggapai mimpi
  • Kritis dalam berpikir
  • Detail dalam mencermati suatu permasalahan

Membaca tulisan Mona Ratuliu dalam buku "Digital ParenThink" ini rasanya seperti sedang ngobrol. Ada beberapa part yang membuat saya nyeletuk "Wah ini nih gue banget!" atau "Ooh ternyata gitu ya?" karena cukup merepresentasikan hal yang sedang saya alami. Misalnya pada halaman 33 yang menjelaskan bahwa ada batasan screen time maksimal satu jam pada anak usia 2-5 tahun. Padahal selama ini saya santai saja menontonkan aneka video pada si kecil. Biasanya jelang makan dan sesudah mandi, si kecil duduk manis fokus pada layar kaca. Jika dihitung-hitung total durasinya hampir dua jam! Ternyata hal tersebut bisa berdampak pada kemampuan berkomunikasi anak nantinya. Duh, semoga saja belum terlambat untuk mengubah kebiasaan ini. 





Orang tua tentu tidak ingin anaknya kecanduan gadget, sama halnya dengan Mona Ratuliu yang akhirnya melakukan detoks. Ketika anak sulungnya, Mima mulai menunjukkan gelagat adiksi pada gadget, Mona segera ambil langkah. Dalam hal ini detoks artinya menghentikan sama sekali penggunaan gadget dalam jangka waktu tertentu, sekitar 4-6 minggu. Proses ini tentu tidak mudah. Bahkan Mima mengungkapkan kekesalannya dengan aksi protes, "Rumah ini banyak aturan! Kayak penjara aja!"

Lalu bagaimana cara Mona Ratuliu menghadapi drama gadget tersebut? Kisah lengkapnya bisa dibaca dalam buku "Digital ParenThink" yang dibanderol dengan harga 69.900 (untuk pulau Jawa). Tak hanya pengalaman langsung Mona dan keluarga dalam menghadapi gadget, Mona juga melengkapi bukunya dengan pengetahuan beberapa pakar di bidangnya masing-masing. Tak ketinggalan, ada juga kisah anak-anak yang sukses memanfaatkan gadget, seperti Naura (penyanyi), Naya (pengusaha slime), Keisya (sukses jualan pastry di Instagram), hingga Rafi Ramadhan (pemusik). Layaknya pisau bermata dua, gadget pun ada manfaatnya kok. Oh iya dalam buku ini juga ada bocoran tips dari Bill Gates, bos komputer sedunia, tentang aturan yang ia terapkan terkait penggunaan gadget. 

Pada akhirnya, menjadi orang tua adalah proses belajar yang tidak mengenal kata lulus. Tidak ada juga gelar SP (Sarjana Parenting) dan atribut cum laude yang tersemat jika kita berhasil mendidik. So, mari menjadi orang tua yang ikhlas menemani langkah sang anak hingga kelak tiba masanya ia harus berjalan sendiri. Dan tugas kita, memastikan ia siap menghadapi apapun itu pahit manisnya kehidupan di luar sana. 




With love,
Tian






  • Share:

You Might Also Like

0 komentar